Langsung ke konten utama

Memperpendek Gap dalam Persepsi.

persepsi/per·sep·si/ /persépsi/ n 1 tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu; serapan: 2 proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya;

Lagi, tulisan kali ini hasil diskusi bersama kawan yang saya ceritakan di postingan sebelum ini. Diskusi bermula dari kalimat tanpa titik koma yang diakhiri tawa;


Tentu saja bagi saya yang amat sangat memperhatikan tanda baca, kalimat semacam ini membingungkan pada awalnya. Persepsi yang dibangun dari kalimat ini akan sangat tergantung dari tanda baca apa yang digunakan dan dimana tanda baca diletakkan. Tulisan kali ini tidak akan berfokus pada persepsi karena tanda baca (di tulisan lain mungkin bisa saya bahas), tapi lebih pada konten dari kalimat yang saya pahami sebagai sebuah pernyataan alih-alih pertanyaan.

Iya, kalimat tersebut saya persepsikan sebagai sebuah pernyataan yang diakhiri dengan sebuah tawa yang penuh kegetiran; Ada sebuah gap yang terbangun ketika kita berbicara dengan orang yang pendidikannya setara dengan kita dan dengan yang tidak.

Tanggapan saya sederhana; mindset nya berbeda Om, bertemu orang yang berbeda juga.

Pun usia, bukan patokan dalam pembentukan mindset sehingga bagaimana dia memersepsikan segala sesuatu juga akan berbeda. Ada banyak hal yang membentuk mindset seseorang, pendidikan hanya salah satunya, ada usia, lingkungan, mental dan banyak hal lainnya. Yang kalau saya pribadi megerucut pada satu kesimpulan yang saya berikan di atas; bertemu dengan orang yang berbeda. Lingkungan yang sama dengan orang yang sama akan membuat seseorang memiliki persepsi atau cara pandang yang mau tidak mau, disadari atau tidak akan sama juga. Tapi, bertemu dengan lebih banyak orang, membuka tidak hanya mata dan hati tapi juga pikiran, bahwa ada banyak cara pandang lain yang kita tidak tahu.

Dalam memaknai sekufu dalam hal pernikahan (hal ini lepas dari hukum fiqih ya, karena saya tidak memiliki ilmunya), saya pribadi memaknainya sebagai kesamaan dalam mindset. Pasangan yang berbeda usia, berbeda latar belakang pendidikan, keluarga dan berbagai perbedaan lainnya, selama memiliki mindset yang sama (atau setidaknya mirip) akan baik-baik saja kehidupan pernikahannya. Bisa jadi saya salah, karena toh saya sendiri belum menikah bukan? Saya hanya melihat dan belajar dari kehidupan pernikahan orang-orang disekitar saya.


Diskusi berlanjut dengan pertanyaan kenapa bahasan ini muncul? Apakah karena sedang kesulitan menyamakan persepsi? Kalaupun iya, solusi yang mudah diucapkan namun menantang untuk dilakukan adalah "menurunkan standar" untuk bisa sama. Kalaupun tidak bisa sama, setidaknya gap nya tidak terlalu jauh. Dalam pemahaman saya, pada akhirnya mindset ini akan selalu berkorelasi dengan harga diri. Saya memahaminya bahwa ketika kita menurunkan standar bukan berarti harga diri kita menjadi berkurang. Tidak sedikitpun. Saya amat sangat menghargai orang yang ketika berbicara dan atos-atosan (apa bahasa Indonesia yang bisa saya gunakan untuk istilah ini?) mempertahankan apa yang diyakininya kemudian berusaha menurunkan standar persepsinya sehingga akhirnya tidak perlu berujung pada ke-aku-an yang merasa bahwa dirinyalah yang paling benar. Susah? Tentu saja, saya pun kadang masih ngotot dengan persepsi yang saya pegang sampai akhirnya saya sadar. Dan tentu saja, trial and error. Hahahaha.

Kadang, ketika kita menyampaikan sebuah pandangan dalam berdiskusi, sejujurnya kita hanya mencari perasaan lega bahwa ternyata apa yang kita pikirkan itu tidak keluar jalur. Tapi, kalau kita tidak berusaha menurunkan standar, alih-alih perasaan lega, yang ada malah kesal sendiri. Sebenarnya, perasaan kesal itu kita sendiri yang bangun, karena kita merasa benar.

Yuk, sama-sama belajar untuk memperpendek gap dalam persepsi kita. Tidak mudah, tapi tentu saja bisa dilakukan.

Tabik!




Komentar

Other Story

Apa yang kau cari dalam ibadahmu?

Tulisan ini terinspirasi dari kegalauan saya ketika ada yang mengingatkan mengapa ibadah saya dirasa berdurasi singkat. Untuk beberapa waktu, saya galau. Ya, saya galau. Apa iya? Kegalauan saya berhenti, ketika seseorang mengingatkan kembali bahwa cara beribadah setiap orang itu berbeda. Jangan jadi 'dilama-lamain' ibadahnya hanya karena sedang berada di tempat umum. Biar apa? Biar dibilang khusyuk? Sholat itu hubungannya dengan Gusti Allah, yg menilai Allah, bukan manusia. Sholat berdurasi panjang, tp kalo hatinya ndak smpe ke Allah ya percuma. Yang penting semua rukun dan wajibnya sholat terpenuhi dengan baik. Allohu a'lam.